Badminton adalah salah satu olahraga yang sangat dicintai oleh rakyat Indonesia. Baru-baru ini Asian Games 2018 gempar karena pertandingan seru yang ditampilkan oleh para atlit tepok bulu ini. Selain dari aksi-aksi di luar permainan yang menarik perhatian (dari atlit buka baju, ngepel lantai pertandingan, ngece saat selebrasi, dll), apa yang mereka berikan kepada Indonesia tentunya sangat fantastis dan membanggakan segenap rakyat yang satu bangsa dengan mereka. Meski banyak orang saat ini lebih menujukan mata kepada atlit Jonathan Christie, kali ini mata saya lebih terpaku pada pasangan ganda putra Kevin Sanjaya Sukamuljo dan Marcus Fernaldi Gideon yang telah mencatat prestasi mereka lebih dulu sebagai No. 1 BWF Men Doubles Pair. Tiap hari saya bisa pantengin layar komputer untuk menonton pertandingan mereka berjam-jam dan kepoin profil serta kehidupan mereka yang sebenarnya hingga mendapat belasan title juara turnamen Superseries dari berbagai penjuru dunia dan 2 kali memenangkan All England (pertandingan bulutangkis tertua di dunia). Berikut adalah hasil penelusuran saya (yang boleh dikoreksi apabila ada kesalahan atau tambahan) yang tentunya memberikan pelajaran hidup yang cukup menarik di dalam kehidupan saya sehari-hari.
1. Kevin Sanjaya Sukamuljo: The “Tengil”-est Athlete ever
Kevin adalah salah satu pemain berbakat dari PB Djarum yang sudah digembleng untuk menjadi atlit bulutangkis dari semenjak usia muda. Kevin yang bercita-cita dari kecil untuk menjadi juara All England, dari umur 3,5 tahun sudah dapat menepok shuttlecock tanpa terluput, dibawa oleh ayahnya bolak balik pulang dari Banyuwangi – Jember (which is sekitar 100 km jaraknya) sebanyak 4 kali seminggu untuk latihan bulutangkis dengan pelatih yang hebat semenjak TK (agar basis teknisnya bagus kata ayahnya), dan semenjak itu sering memenangkan berbagai pertandingan semasa SD, hingga akhirnya harus terpisah dari orang tuanya untuk hidup mandiri semenjak umur 11 tahun saat dia diterima oleh PB Djarum. Namun meskipun demikian, Kevin mengalami banyak kegagalan juga, dari sempat gagal dalam audisi PB Djarum (walau setahun kemudian dia mencoba lagi dan lolos), mengalami stuck sebagai single player dan harus gonta-ganti pasangan doubles saat dia sendiri sempat keberatan saat dipindahkan menjadi double player. Jadi mengatakan bahwa Kevin adalah pemain berbakat yang tidak pernah kalah tentu adalah salah. Dia pernah kalah dan dikatakan pelatihnya sampai nangis di pojokan dan ngambek tidak mau pulang, karena Kevin, menurut orang-orang terdekatnya, adalah sosok yang tidak mau kalah di lapangan dan selalu mau berusaha. Untuk menjadi seorang juara, banyak harga yang harus dibayar oleh Kevin lebih dari apa yang orang lain duga.
Gaya bermainnya yang “tengil” tentu menjadi perhatian publik yang membuat perhelatan badminton dunia saat ini menjadi panas. Ada pro dan kontra di dalam menanggapi permainannya yang kadang eksentrik dan nyeleneh. Namun beberapa hal yang pasti adalah Kevin tidak akan bermain sangat “tengil” apabila tidak diprovokasi terlebih dulu oleh wasit atau lawannya. Secara mental, Kevin sangat pede, di mana dia secara berani melakukan lagi smash, serve atau tindakan lainnya yang di-misjudge oleh wasit atau lawan sebelumnya pada pertandingan yang sama. Hanya saja hal itu tentu tidak lepas dari dukungan kemampuan dan moril dari pasangannya saat di lapangan, yaitu Marcus Fernaldi Gideon.
2. Marcus Fernaldi Gideon: The “Sunshine” Smile Athlete
Marcus adalah anak dari seorang pemain bulutangkis nasional, yaitu Kurnia Hu Gideon, yang mana dia belajar badminton darinya semenjak kecil. Bergabung dengan PB Jaya Raya, Marcus juga sempat menjadi single player yang akhirnya dipindahkan ke double player dengan berbagai prestasi yang ia raih sebelum dia bertemu dengan Kevin, junior yang usianya 5 tahun lebih muda dari dia. Meskipun demikian, Marcus juga sempat kabur dari Pelatnas Cipayung, di mana dia pernah mengalami kekecewaan dengan pelatihnya. Namun hebatnya, dia masih bisa tetap menjuarai beberapa turnamen dengan pasangannya yang merupakan senior, yaitu Markis Kido. Saat dia kembali ke Pelatnas, Marcus dipasangkan dengan Kevin, yang di mana pasangan Kevin saat itu sedang sakit. Ada yang unik di sini bahwa Kevin biasanya suka ngambek dan buang-buang bola saat dia tidak suka dengan partner yang dipasangkan kepadanya. Namun Kevin tampaknya lebih bisa menerima seniornya kali ini, terutama setelah melihat torehan prestasi yang sudah dicapainya dan juga visi yang kuat serta disiplin yang kencang yang dimiliki oleh Marcus. Di sini Marcus adalah bukti bahwa untuk menjadi seorang pemenang, bakat memang penting, namun kedisiplinan dan ketekunanlah yang akan menang dari orang yang berbakat. Dan dari sanalah perjalanan pasangan duo ini dimulai.
Memang banyak yang lebih menyorot permainan dan skill Kevin dibandingkan Marcus, but let me tell you, Marcus is not to be underestimated. Kemampuan Marcus dari segi smash dan defence sangatlah membantu Kevin untuk dapat mengeluarkan seluruh potensinya di dalam lapangan. Hal ini dapat terlihat dari permainan Kevin yang sangat cepat dan kadang emosional sehingga cenderung membuka celah bagi musuh untuk menyerang apabila dia harus meng-cover satu lapangan (Ini mungkin menjadi alasan mengapa pelatihnya melihat Kevin lebih ada potensi menjadi double player dibandingkan single player). Dan Marcus, menurut saya, adalah orang yang sangat cocok secara kapabilitas dan mental di dalam mengisi kekosongan tersebut. Dari pertandingan Indonesia Open dan juga final All England terlihat bahwa saat permainan Marcus tidak stabil maka hal itu akan mempengaruhi permainan Kevin menjadi tidak stabil juga. Namun hal itu tidak terjadi sebaliknya. Saat Kevin bermain tidak stabil dan banyak melakukan kesalahan, Marcus dapat meredam ketidakstabilan tersebut secara skill dan mentalnya sehingga memberikan Kevin ruang dan kepercayaan diri untuk mengulang smash atau service yang dia lakukan sebelumnya sambil mengatur keakuratannya agar lebih tajam lagi. Sehingga secara talent, Kevin mungkin lebih berbakat. Namun secara kedewasaan, Marcus cenderung lebih tenang dan lebih berpengalaman di dalam mengatur tempo pertandingan.
3. Kevin & Marcus: The Wonder Pair
Kevin dan Marcus pernah bercerita bahwa saat mereka bertemu, mereka memang tidak langsung bisa main bagus, tapi harus beradaptasi dan saling berdiskusi mainnya harus bagaimana. Dan hasil dari diskusi itu tidak langsung juga melahirkan pasangan ganda putra nomor 1 di dunia. Mereka telah mengalami kegagalan terlebih dahulu dari beberapa turnamen awal, dicurangi oleh beberapa wasit dan pemain dari berbagai negara dan juga mendapatkan cidera dari permainan cepat mereka. Namun seperti pisau yang diasah akan semakin tajam, evaluasi dari pertandingan demi pertandingan yang mereka hadapi telah membawa mereka terbang lebih tinggi lagi hingga akhirnya memenangkan belasan tropi Superseries dan juga 1 major event, yaitu Asian Games.
Permainan Kevin dan Marcus tidak bisa ditebak. Hal ini terlihat dari Kevin dan Marcus dapat menjadi penyerang dan juga bertahan di dalam satu waktu sekaligus dengan refleks mereka yang luar biasa. Memang secara taktis mereka tidak secanggih pasangan Hendra-Ahsan, di mana Kevin-Marcus cenderung lambat panas di awal pertandingan, terutama saat babak penyisihan atau pertengahan. Secara kecepatan mereka juga tidak selalu secepat Candra-Sigit, meskipun Kevin mempelajari berbagai pukulan nyeleneh dari Sigit Budiarto saat di PB Djarum. Apalagi secara stamina, mereka juga tidak seperti pasangan legenda Ricky-Rexy yang bisa smash terus ke sana sini. Yang membuat Kevin-Marcus berbahaya justru karena mereka adalah gabungan dari semua pasangan tersebut ditambah komunikasi yang sangat harmonis di antara mereka saat bermain di lapangan (sangat suka tos dengan satu sama lain baik saat mendapatkan atau kehilangan poin). Tak ayal Oma Gil, salah satu komentator terkenal di bulutangkis, seringkali terpana saat melihat permainan mereka dengan mengatakan, “Unbelieveable!” “I don’t believe it!” “How did he do it?!” dengan diakhiri “What a rally.”
Selain flick service, backhand smash memutar dan flat shoots yang dimiliki oleh Kevin, serta hard smash dan sturdy defence dari Marcus, permainan cepat dan taktis mereka seringkali membuat lawan kelimpungan untuk mengembalikan bola yang mereka berikan. Both of them can be the playmaker. Both of them can be the power player. Meskipun formatnya terlebih sering Kevin bermain di depan net dan Marcus men-support di belakang, namun tetap saat “The Minions” berlarian di lapangan, maka lawannya perlu bersiap dengan defences atau drop shots dalam level apapun yang akan diberikan oleh mereka.
4. The Controversies on The Court
Sebagai pemain-pemain muda yang langsung melesat jauh sebagai No. 1 BWF players, banyak orang yang mendukung namun juga tidak sedikit orang yang mengkritik. Permainan mereka cenderung eksentrik, seperti suka mengganti raket saat pertandingan sedang berlangsung (bukan untuk pamer tentunya. Si Tangan Petir, julukan untuk Kevin, bisa mengalami putus senar raket hingga 2-3 raket per pertandingan), pukulan dari bawah kaki atau belakang punggung, sampai smash cuek yang selalu berhasil menarik perhatian penonton untuk melihat permainan mereka. Selain itu, permainan mereka yang seringkali penuh dengan ketengilan membuat para penggemarnya bersorak atau lawannya sebal. Pelatih mereka, Harry IP, sering mengkhawatirkan kondisi ini terutama Kevin. Hal ini karena Kevin seringkali suka terpicu untuk “ngece”-in lawan dan bahkan wasit, dari protes jongkok saat servicenya di-fault, pura-pura memukul bola yang out untuk kesekian kalinya meski sudah ditegur, hingga provokasi dan ungkapan kekecewaan kepada lawan sampai dapat kartu kuning. Bukannya mau membela Kevin seutuhnya, namun memang kadang yang salah itu bukan Kevin duluan, tapi dari keputusan wasit yang tidak adil atau lawan yang memprovokasi dia duluan dengan berbagai bentuk dan cara. Yang menambah masalah adalah kalau Mpin (sebutan untuk Kevin) sudah di-misjudge, biasanya yang terganggu konsentrasinya adalah kokonya, yaitu Ko Sinyo (sebutan untuk Marcus), di mana terlihat dari permainannya yang mendadak tegang setelahnya atau beberapa kesalahan yang dibuatnya.
Yang membuat pelatihnya tidak khawatir adalah saat Kevin mengatakan kepada pelatihnya, “Tenang, Koh. Saya kontrol.” Mungkin memang tidak sempurna, namun semakin ke sini, permainan Kevin semakin lebih dewasa. Apabila lawan yang dihadapinya respectful dan wasitnya adil, maka Kevin-Marcus akan bersikap respectful juga terhadap mereka (terlihat di permainan Asian Games melawan Jepang dan Fajar-Rian). Namun menurut saya mengatakan bahwa Kevin-Marcus adalah orang yang sombong itu tidaklah benar. Di dalam pertandingan, semua juara memang perlu kepercayaan diri dan mental yang kuat untuk mencapai kemenangan dengan penuh integritas. Jadi psy war adalah hal yang lumrah di antara para atlit yang bertanding. Hanya saja saya melihat kalau netizen seringkali bias dengan sikap sportifitas dengan integritas di lapangan. Sikap sopan dan santun di dalam olahraga itu memang penting, namun bukan berarti menjadi celah untuk melakukan kecurangan atau kelalaian. Hal ini yang bisa kita pelajari dari pertandingan Kevin-Marcus kepada pasangan Denmark (Conrad-Kolding, Indonesia Open & All England), atau Malaysia (Shem-Tan Goh). Setengil-tengilnya Kevin-Marcus, mereka tidak pernah mengambil kesempatan untuk curang di dalam challenge atau mis-judge wasit, meremas kok supaya dapat memaksa diganti, atau bahkan melempar raket kepada lawan karena kalah (terjadi pada Kevin kalau tidak salah di Dubai Open). Bahkan setelah diperlakukan seperti itupun, Kevin-Marcus masih bersikap sopan loh dengan mengadu pada wasit, meskipun kadang masih dicurangi juga. Hahaha ^^.
Jadi yang mana yang lebih elegan? Menurut saya, sebaiknya mereka belajar satu dua hal tentang kesopanan dari Victor Axelsen. Saat protes lawannya tentang raket Axelsen mengenai net tidak digubris oleh wasit, maka Axelsen memberikan lawannya poin kembali dengan melakukan salah service. Toh, Axelsen akhirnya memenangkan pertandingan itu juga, tapi tentu hasilnya jauh lebih elegan dibandingkan dia memaksakan curang seperti pasangan Conrad-Kolding atau yang lainnya.
5. The Best Athletes are still Humans who Loves Their Countries
Sekarang bicara soal di luar lapangan. Banyak orang mengagumi pasangan Kevin-Marcus ini hingga mengejar mereka di luar lapangan dengan wawancara dan sebagainya. Uniknya cara bicara dan gestur mereka saat wawancara kadang tidak seelegan saat mereka bermain di lapangan. Ada yang kaku, ada yang kadang bingung mencari kata-kata yang tepat, ada yang kadang bingung untuk menjelaskan sesuatu. Hal ini juga sering terjadi saat mereka berdebat dengan wasit atau pemain dari luar negeri saat ada masalah. Their broken English made me wants to help them when they are in trouble, meskipun tentu sekarang kemampuan bahasa mereka sudah jauh lebih baik. Hal ini membuat saya penasaran dan menilik kehidupan mereka di sisi lain. Dan pelajaran ini menjadi salah satu turning point di dalam kehidupan saya.
Kevin tidak suka sekolah. Marcus juga dan dia hanya tamatan SMA. Natsir bahkan hanya sampai mengecap dunia SMP. Secara umum, kita dapat mengatakan bahwa mereka tidak berada pada dunia intelektualitas yang orang agungkan pada umumnya. Mereka memiliki kejeniusan dalam kinestetik, namun bukan berarti jenius di dalam segala bidang. Namun yang saya pelajari dari mereka adalah betapa uniknya mereka saat berkomunikasi. Kadang kalau melihat wawancara mereka, seringkali agak kikuk, kadang bingung mau ngomong apa dan gayanya sederhana sekali. Kesederhanaan inilah yang seringkali memunculkan inti dan niatan yang sebenarnya dari diri mereka. Kevin-Marcus adalah atlit yang tidak neko-neko dan low profile, kelihatan dari bagaimana saat mereka ditanya soal pengelolaan bonus yang mereka berikan (mau ditabung) dan motivasi apa yang membuat mereka terus main bulutangkis. Sebuah wawancara mereka dengan Najwa Shihab mengenai kemenangan mereka yang gemilang secara berturut-turut, membuka mata saya tentang betapa rendah hati kedua sosok ini.
Najwa: “Bagaimana caranya supaya tetap biasa-biasa aja? How do you stay grounded gitu, humble gitu, di tengah-tengah awarding demi awarding, medali demi medali, naik podium, megang raket menang, ditepokin (tangan) banyak orang dan sebagainya? Untuk tetap biasa kaya gini tuh gimana?”
Kevin: “Yaa… setelah kita turun dari podium khan kita udah ngga juara lagi yah. Kita mulai dari nol lagi. Jadi kita harus berjuang lagi dari nol. Udah bukan juara lagi. Setiap kita masuk ke lapangan, kosong-kosong lagi khan jadinya.”
Marcus: “Iyah, soalnya (kalaupun) mau juara terus pas mau pertandingan khan tetep mulai dari babak pertama bukan langsung dari finalnya.”
-Narasi TV
Dan yang paling menyentuh hati adalah saat Kevin-Marcus diwawancara tentang pertandingan kontroversi mereka di Indonesia Open di mana Kevin sempat mengancungkan jempol ke bawah saat mendapat perlakuan tidak adil dari wasit dan lawannya. Di wawancara tersebut, Mpin tak disangka jauh lebih kalem dibandingkan Ko Sinyo yang berapi-api dalam memberikan komentar. Satu hal yang menarik hati saya adalah saat Kevin mengatakan, “Yah, buat nextnya kita harus siap yah mau lawan siapapun itu. Yang penting dari diri kita sendiri kita harus siap mental, harus siap segalanyalah, harus bisa kasih yang terbaik buat Indonesia.” – CNN Indonesia. Dari sini saya melihat bagaimana Kevin-Marcus berjuang untuk bangsanya. Pandangan ini semakin menguat waktu saya melihat bagaimana mereka menangis saat mendengar lagu Indonesia Raya setelah memenangkan medali emas bulutangkis untuk ganda putra Asian Games 2018.
Hampir kebanyakan atlit Indonesia menangis saat lagu Indonesia Raya dinyanyikan saat pemberian medali, bukan saat dia naik podium atau sebagainya. Saya yang perjuangannya tidak sebesar mereka dan hanya sempat beberapa minggu tinggal di luar negeri, mengerti rasa yang kuat akan bangsa Indonesia yang melekat di dalam diri saya. Rasa itu adalah rasa bangga untuk membela nama bangsa dalam bentuk apapun.
Tampaknya layak untuk Kevin-Marcus dianggap sebagai pasangan ganda putra bulutangkis yang fenomenal di jaman ini. Selain skill dan mental yang menunjukkan permainan yang menarik di lapangan, kesederhanaan mereka juga menjadi magnet untuk orang-orang mengikuti jejak-jejak perjuangan yang telah mereka lewati. Tentu bukan selalu mendorong orang menjadi atlit olahraga, namun dari disiplin menjaga kesehatan saja mereka sudah memberikan dorongan yang tepat. Saya terinspirasi dengan bagaimana Ko Sinyo menge-post Instagram Story di mana beberapa hari setelah memenangkan Asian Games, dia langsung memulai latihan larinya pada pukul 5 pagi. Saya terinspirasi dengan bagaimana Mpin yang tengil ini menge-post Instagram yang berisi video untuk persatuan Indonesia melalui Asian Games 2018 di tengah-tengah isu sensitif mengenai perbedaan kepercayaan atas atlit lain yang sedang terkenal saat ini. Sekarang saatnya saya mempratekkan apa yang saya pelajari dari kalian dengan lari 5K per minggu untuk kesehatan (amin!). Terima kasih atas inspirasi yang diberikan, Kevin-Marcus. Terima kasih atas perjuangan yang diberikan, para Atlit Indonesia lainnya. Tangisan kalian saat lagu Indonesia Raya dikumandangkan akan saya ingat selalu. Semangat juga untuk perjuangan demi Indonesia selanjutnya. All the best for you in Japan Open 2018, Kevin-Marcus! May God be with you always ^^.
Ps: Tulisan ini hanyalah opini dan informasi yang didapatkan secara pribadi belaka. Bagi yang pertama kali ingin mengenal Kevin-Marcus dan bagaimana mereka di dalam pertandingan, bisa melihat dulu final All England 2018 atau kompilasi skill bermain mereka untuk mendapatkan gambaran gaya bermain mereka melalui link di bawah ini.
Final All England 2018 – Kev/Mar & Con/Kol
The Art of Badminton Defending
#KevinMarcus #Asiangames2018 #Badminton #Indonesia #Doubleplayers