Kevin – Marcus: Athletes are Heroes in Disguise

Badminton adalah salah satu olahraga yang sangat dicintai oleh rakyat Indonesia. Baru-baru ini Asian Games 2018 gempar karena pertandingan seru yang ditampilkan oleh para atlit tepok bulu ini. Selain dari aksi-aksi di luar permainan yang menarik perhatian (dari atlit buka baju, ngepel lantai pertandingan, ngece saat selebrasi, dll), apa yang mereka berikan kepada Indonesia tentunya sangat fantastis dan membanggakan segenap rakyat yang satu bangsa dengan mereka. Meski banyak orang saat ini lebih menujukan mata kepada atlit Jonathan Christie, kali ini mata saya lebih terpaku pada pasangan ganda putra Kevin Sanjaya Sukamuljo dan Marcus Fernaldi Gideon yang telah mencatat prestasi mereka lebih dulu sebagai No. 1 BWF Men Doubles Pair. Tiap hari saya bisa pantengin layar komputer untuk menonton pertandingan mereka berjam-jam dan kepoin profil serta kehidupan mereka yang sebenarnya hingga mendapat belasan title juara turnamen Superseries dari berbagai penjuru dunia dan 2 kali memenangkan All England (pertandingan bulutangkis tertua di dunia). Berikut adalah hasil penelusuran saya (yang boleh dikoreksi apabila ada kesalahan atau tambahan) yang tentunya memberikan pelajaran hidup yang cukup menarik di dalam kehidupan saya sehari-hari.

1. Kevin Sanjaya Sukamuljo: The “Tengil”-est Athlete ever

Kevin adalah salah satu pemain berbakat dari PB Djarum yang sudah digembleng untuk menjadi atlit bulutangkis dari semenjak usia muda. Kevin yang bercita-cita dari kecil untuk menjadi juara All England, dari umur 3,5 tahun sudah dapat menepok shuttlecock tanpa terluput, dibawa oleh ayahnya bolak balik pulang dari Banyuwangi – Jember (which is sekitar 100 km jaraknya) sebanyak 4 kali seminggu untuk latihan bulutangkis dengan pelatih yang hebat semenjak TK (agar basis teknisnya bagus kata ayahnya), dan semenjak itu sering memenangkan berbagai pertandingan semasa SD, hingga akhirnya harus terpisah dari orang tuanya untuk hidup mandiri semenjak umur 11 tahun saat dia diterima oleh PB Djarum. Namun meskipun demikian, Kevin mengalami banyak kegagalan juga, dari sempat gagal dalam audisi PB Djarum (walau setahun kemudian dia mencoba lagi dan lolos), mengalami stuck sebagai single player dan harus gonta-ganti pasangan doubles saat dia sendiri sempat keberatan saat dipindahkan menjadi double player. Jadi mengatakan bahwa Kevin adalah pemain berbakat yang tidak pernah kalah tentu adalah salah. Dia pernah kalah dan dikatakan pelatihnya sampai nangis di pojokan dan ngambek tidak mau pulang, karena Kevin, menurut orang-orang terdekatnya, adalah sosok yang tidak mau kalah di lapangan dan selalu mau berusaha. Untuk menjadi seorang juara, banyak harga yang harus dibayar oleh Kevin lebih dari apa yang orang lain duga.

Gaya bermainnya yang “tengil” tentu menjadi perhatian publik yang membuat perhelatan badminton dunia saat ini menjadi panas. Ada pro dan kontra di dalam menanggapi permainannya yang kadang eksentrik dan nyeleneh. Namun beberapa hal yang pasti adalah Kevin tidak akan bermain sangat “tengil” apabila tidak diprovokasi terlebih dulu oleh wasit atau lawannya. Secara mental, Kevin sangat pede, di mana dia secara berani melakukan lagi smash, serve atau tindakan lainnya yang di-misjudge oleh wasit atau lawan sebelumnya pada pertandingan yang sama. Hanya saja hal itu tentu tidak lepas dari dukungan kemampuan dan moril dari pasangannya saat di lapangan, yaitu Marcus Fernaldi Gideon.

2. Marcus Fernaldi Gideon: The “Sunshine” Smile Athlete

Marcus adalah anak dari seorang pemain bulutangkis nasional, yaitu Kurnia Hu Gideon, yang mana dia belajar badminton darinya semenjak kecil. Bergabung dengan PB Jaya Raya, Marcus juga sempat menjadi single player yang akhirnya dipindahkan ke double player dengan berbagai prestasi yang ia raih sebelum dia bertemu dengan Kevin, junior yang usianya 5 tahun lebih muda dari dia. Meskipun demikian, Marcus juga sempat kabur dari Pelatnas Cipayung, di mana dia pernah mengalami kekecewaan dengan pelatihnya. Namun hebatnya, dia masih bisa tetap menjuarai beberapa turnamen dengan pasangannya yang merupakan senior, yaitu Markis Kido. Saat dia kembali ke Pelatnas, Marcus dipasangkan dengan Kevin, yang di mana pasangan Kevin saat itu sedang sakit. Ada yang unik di sini bahwa Kevin biasanya suka ngambek dan buang-buang bola saat dia tidak suka dengan partner yang dipasangkan kepadanya. Namun Kevin tampaknya lebih bisa menerima seniornya kali ini, terutama setelah melihat torehan prestasi yang sudah dicapainya dan juga visi yang kuat serta disiplin yang kencang yang dimiliki oleh Marcus. Di sini Marcus adalah bukti bahwa untuk menjadi seorang pemenang, bakat memang penting, namun kedisiplinan dan ketekunanlah yang akan menang dari orang yang berbakat. Dan dari sanalah perjalanan pasangan duo ini dimulai.

Memang banyak yang lebih menyorot permainan dan skill Kevin dibandingkan Marcus, but let me tell you, Marcus is not to be underestimated. Kemampuan Marcus dari segi smash dan defence sangatlah membantu Kevin untuk dapat mengeluarkan seluruh potensinya di dalam lapangan. Hal ini dapat terlihat dari permainan Kevin yang sangat cepat dan kadang emosional sehingga cenderung membuka celah bagi musuh untuk menyerang apabila dia harus meng-cover satu lapangan (Ini mungkin menjadi alasan mengapa pelatihnya melihat Kevin lebih ada potensi menjadi double player dibandingkan single player). Dan Marcus, menurut saya, adalah orang yang sangat cocok secara kapabilitas dan mental di dalam mengisi kekosongan tersebut. Dari pertandingan Indonesia Open dan juga final All England terlihat bahwa saat permainan Marcus tidak stabil maka hal itu akan mempengaruhi permainan Kevin menjadi tidak stabil juga. Namun hal itu tidak terjadi sebaliknya. Saat Kevin bermain tidak stabil dan banyak melakukan kesalahan, Marcus dapat meredam ketidakstabilan tersebut secara skill dan mentalnya sehingga memberikan Kevin ruang dan kepercayaan diri untuk mengulang smash atau service yang dia lakukan sebelumnya sambil mengatur keakuratannya agar lebih tajam lagi. Sehingga secara talent, Kevin mungkin lebih berbakat. Namun secara kedewasaan, Marcus cenderung lebih tenang dan lebih berpengalaman di dalam mengatur tempo pertandingan.

3. Kevin & Marcus: The Wonder Pair

Kevin dan Marcus pernah bercerita bahwa saat mereka bertemu, mereka memang tidak langsung bisa main bagus, tapi harus beradaptasi dan saling berdiskusi mainnya harus bagaimana. Dan hasil dari diskusi itu tidak langsung juga melahirkan pasangan ganda putra nomor 1 di dunia. Mereka telah mengalami kegagalan terlebih dahulu dari beberapa turnamen awal, dicurangi oleh beberapa wasit dan pemain dari berbagai negara dan juga mendapatkan cidera dari permainan cepat mereka. Namun seperti pisau yang diasah akan semakin tajam, evaluasi dari pertandingan demi pertandingan yang mereka hadapi telah membawa mereka terbang lebih tinggi lagi hingga akhirnya memenangkan belasan tropi Superseries dan juga 1 major event, yaitu Asian Games.

Permainan Kevin dan Marcus tidak bisa ditebak. Hal ini terlihat dari Kevin dan Marcus dapat menjadi penyerang dan juga bertahan di dalam satu waktu sekaligus dengan refleks mereka yang luar biasa. Memang secara taktis mereka tidak secanggih pasangan Hendra-Ahsan, di mana Kevin-Marcus cenderung lambat panas di awal pertandingan, terutama saat babak penyisihan atau pertengahan. Secara kecepatan mereka juga tidak selalu secepat Candra-Sigit, meskipun Kevin mempelajari berbagai pukulan nyeleneh dari Sigit Budiarto saat di PB Djarum. Apalagi secara stamina, mereka juga tidak seperti pasangan legenda Ricky-Rexy yang bisa smash terus ke sana sini. Yang membuat Kevin-Marcus berbahaya justru karena mereka adalah gabungan dari semua pasangan tersebut ditambah komunikasi yang sangat harmonis di antara mereka saat bermain di lapangan (sangat suka tos dengan satu sama lain baik saat mendapatkan atau kehilangan poin). Tak ayal Oma Gil, salah satu komentator terkenal di bulutangkis, seringkali terpana saat melihat permainan mereka dengan mengatakan, “Unbelieveable!” “I don’t believe it!” “How did he do it?!” dengan diakhiri “What a rally.”

Selain flick service, backhand smash memutar dan flat shoots yang dimiliki oleh Kevin, serta hard smash dan sturdy defence dari Marcus, permainan cepat dan taktis mereka seringkali membuat lawan kelimpungan untuk mengembalikan bola yang mereka berikan. Both of them can be the playmaker. Both of them can be the power player. Meskipun formatnya terlebih sering Kevin bermain di depan net dan Marcus men-support di belakang, namun tetap saat “The Minions” berlarian di lapangan, maka lawannya perlu bersiap dengan defences atau drop shots dalam level apapun yang akan diberikan oleh mereka.

4. The Controversies on The Court

Sebagai pemain-pemain muda yang langsung melesat jauh sebagai No. 1 BWF players, banyak orang yang mendukung namun juga tidak sedikit orang yang mengkritik. Permainan mereka cenderung eksentrik, seperti suka mengganti raket saat pertandingan sedang berlangsung (bukan untuk pamer tentunya. Si Tangan Petir, julukan untuk Kevin, bisa mengalami putus senar raket hingga 2-3 raket per pertandingan), pukulan dari bawah kaki atau belakang punggung, sampai smash cuek yang selalu berhasil menarik perhatian penonton untuk melihat permainan mereka. Selain itu, permainan mereka yang seringkali penuh dengan ketengilan membuat para penggemarnya bersorak atau lawannya sebal. Pelatih mereka, Harry IP, sering mengkhawatirkan kondisi ini terutama Kevin. Hal ini karena Kevin seringkali suka terpicu untuk “ngece”-in lawan dan bahkan wasit, dari protes jongkok saat servicenya di-fault, pura-pura memukul bola yang out untuk kesekian kalinya meski sudah ditegur, hingga provokasi dan ungkapan kekecewaan kepada lawan sampai dapat kartu kuning. Bukannya mau membela Kevin seutuhnya, namun memang kadang yang salah itu bukan Kevin duluan, tapi dari keputusan wasit yang tidak adil atau lawan yang memprovokasi dia duluan dengan berbagai bentuk dan cara. Yang menambah masalah adalah kalau Mpin (sebutan untuk Kevin) sudah di-misjudge, biasanya yang terganggu konsentrasinya adalah kokonya, yaitu Ko Sinyo (sebutan untuk Marcus), di mana terlihat dari permainannya yang mendadak tegang setelahnya atau beberapa kesalahan yang dibuatnya.

Yang membuat pelatihnya tidak khawatir adalah saat Kevin mengatakan kepada pelatihnya, “Tenang, Koh. Saya kontrol.” Mungkin memang tidak sempurna, namun semakin ke sini, permainan Kevin semakin lebih dewasa. Apabila lawan yang dihadapinya respectful dan wasitnya adil, maka Kevin-Marcus akan bersikap respectful juga terhadap mereka (terlihat di permainan Asian Games melawan Jepang dan Fajar-Rian). Namun menurut saya mengatakan bahwa Kevin-Marcus adalah orang yang sombong itu tidaklah benar. Di dalam pertandingan, semua juara memang perlu kepercayaan diri dan mental yang kuat untuk mencapai kemenangan dengan penuh integritas. Jadi psy war adalah hal yang lumrah di antara para atlit yang bertanding. Hanya saja saya melihat kalau netizen seringkali bias dengan sikap sportifitas dengan integritas di lapangan. Sikap sopan dan santun di dalam olahraga itu memang penting, namun bukan berarti menjadi celah untuk melakukan kecurangan atau kelalaian. Hal ini yang bisa kita pelajari dari pertandingan Kevin-Marcus kepada pasangan Denmark (Conrad-Kolding, Indonesia Open & All England), atau Malaysia (Shem-Tan Goh). Setengil-tengilnya Kevin-Marcus, mereka tidak pernah mengambil kesempatan untuk curang di dalam challenge atau mis-judge wasit, meremas kok supaya dapat memaksa diganti, atau bahkan melempar raket kepada lawan karena kalah (terjadi pada Kevin kalau tidak salah di Dubai Open). Bahkan setelah diperlakukan seperti itupun, Kevin-Marcus masih bersikap sopan loh dengan mengadu pada wasit, meskipun kadang masih dicurangi juga. Hahaha ^^.

Jadi yang mana yang lebih elegan? Menurut saya, sebaiknya mereka belajar satu dua hal tentang kesopanan dari Victor Axelsen. Saat protes lawannya tentang raket Axelsen mengenai net tidak digubris oleh wasit, maka Axelsen memberikan lawannya poin kembali dengan melakukan salah service. Toh, Axelsen akhirnya memenangkan pertandingan itu juga, tapi tentu hasilnya jauh lebih elegan dibandingkan dia memaksakan curang seperti pasangan Conrad-Kolding atau yang lainnya.

5. The Best Athletes are still Humans who Loves Their Countries

Sekarang bicara soal di luar lapangan. Banyak orang mengagumi pasangan Kevin-Marcus ini hingga mengejar mereka di luar lapangan dengan wawancara dan sebagainya. Uniknya cara bicara dan gestur mereka saat wawancara kadang tidak seelegan saat mereka bermain di lapangan. Ada yang kaku, ada yang kadang bingung mencari kata-kata yang tepat, ada yang kadang bingung untuk menjelaskan sesuatu. Hal ini juga sering terjadi saat mereka berdebat dengan wasit atau pemain dari luar negeri saat ada masalah. Their broken English made me wants to help them when they are in trouble, meskipun tentu sekarang kemampuan bahasa mereka sudah jauh lebih baik. Hal ini membuat saya penasaran dan menilik kehidupan mereka di sisi lain. Dan pelajaran ini menjadi salah satu turning point di dalam kehidupan saya.

Kevin tidak suka sekolah. Marcus juga dan dia hanya tamatan SMA. Natsir bahkan hanya sampai mengecap dunia SMP. Secara umum, kita dapat mengatakan bahwa mereka tidak  berada pada dunia intelektualitas yang orang agungkan pada umumnya. Mereka memiliki kejeniusan dalam kinestetik, namun bukan berarti jenius di dalam segala bidang. Namun yang saya pelajari dari mereka adalah betapa uniknya mereka saat berkomunikasi. Kadang kalau melihat wawancara mereka, seringkali agak kikuk, kadang bingung mau ngomong apa dan gayanya sederhana sekali. Kesederhanaan inilah yang seringkali memunculkan inti dan niatan yang sebenarnya dari diri mereka. Kevin-Marcus adalah atlit yang tidak neko-neko dan low profile, kelihatan dari bagaimana saat mereka ditanya soal pengelolaan bonus yang mereka berikan (mau ditabung) dan motivasi apa yang membuat mereka terus main bulutangkis. Sebuah wawancara mereka dengan Najwa Shihab mengenai kemenangan mereka yang gemilang secara berturut-turut, membuka mata saya tentang betapa rendah hati kedua sosok ini.

Najwa: “Bagaimana caranya supaya tetap biasa-biasa aja? How do you stay grounded gitu, humble gitu, di tengah-tengah awarding demi awarding, medali demi medali, naik podium, megang raket menang, ditepokin (tangan) banyak orang dan sebagainya? Untuk tetap biasa kaya gini tuh gimana?”

Kevin: “Yaa… setelah kita turun dari podium khan kita udah ngga juara lagi yah. Kita mulai dari nol lagi. Jadi kita harus berjuang lagi dari nol. Udah bukan juara lagi. Setiap kita masuk ke lapangan, kosong-kosong lagi khan jadinya.”

Marcus: “Iyah, soalnya (kalaupun) mau juara terus pas mau pertandingan khan tetep mulai dari babak pertama bukan langsung dari finalnya.”

-Narasi TV

Dan yang paling menyentuh hati adalah saat Kevin-Marcus diwawancara tentang pertandingan kontroversi mereka di Indonesia Open di mana Kevin sempat mengancungkan jempol ke bawah saat mendapat perlakuan tidak adil dari wasit dan lawannya. Di wawancara tersebut, Mpin tak disangka jauh lebih kalem dibandingkan Ko Sinyo yang berapi-api dalam memberikan komentar. Satu hal yang menarik hati saya adalah saat Kevin mengatakan, “Yah, buat nextnya kita harus siap yah mau lawan siapapun itu. Yang penting dari diri kita sendiri kita harus siap mental, harus siap segalanyalah, harus bisa kasih yang terbaik buat Indonesia.” – CNN Indonesia. Dari sini saya melihat bagaimana Kevin-Marcus berjuang untuk bangsanya. Pandangan ini semakin menguat waktu saya melihat bagaimana mereka menangis saat mendengar lagu Indonesia Raya setelah memenangkan medali emas bulutangkis untuk ganda putra Asian Games 2018.

Hampir kebanyakan atlit Indonesia menangis saat lagu Indonesia Raya dinyanyikan saat pemberian medali, bukan saat dia naik podium atau sebagainya. Saya yang perjuangannya tidak sebesar mereka dan hanya sempat beberapa minggu tinggal di luar negeri, mengerti rasa yang kuat akan bangsa Indonesia yang melekat di dalam diri saya. Rasa itu adalah rasa bangga untuk membela nama bangsa dalam bentuk apapun.

Tampaknya layak untuk Kevin-Marcus dianggap sebagai pasangan ganda putra bulutangkis yang fenomenal di jaman ini. Selain skill dan mental yang menunjukkan permainan yang menarik di lapangan, kesederhanaan mereka juga menjadi magnet untuk orang-orang mengikuti jejak-jejak perjuangan yang telah mereka lewati. Tentu bukan selalu mendorong orang menjadi atlit olahraga, namun dari disiplin menjaga kesehatan saja mereka sudah memberikan dorongan yang tepat. Saya terinspirasi dengan bagaimana Ko Sinyo menge-post Instagram Story di mana beberapa hari setelah memenangkan Asian Games, dia langsung memulai latihan larinya pada pukul 5 pagi. Saya terinspirasi dengan bagaimana Mpin yang tengil ini menge-post Instagram yang berisi video untuk persatuan Indonesia melalui Asian Games 2018 di tengah-tengah isu sensitif mengenai perbedaan kepercayaan atas atlit lain yang sedang terkenal saat ini. Sekarang saatnya saya mempratekkan apa yang saya pelajari dari kalian dengan lari 5K per minggu untuk kesehatan (amin!). Terima kasih atas inspirasi yang diberikan, Kevin-Marcus. Terima kasih atas perjuangan yang diberikan, para Atlit Indonesia lainnya. Tangisan kalian saat lagu Indonesia Raya dikumandangkan akan saya ingat selalu. Semangat juga untuk perjuangan demi Indonesia selanjutnya. All the best for you in Japan Open 2018, Kevin-Marcus! May God be with you always ^^.

Ps: Tulisan ini hanyalah opini dan informasi yang didapatkan secara pribadi belaka. Bagi yang pertama kali ingin mengenal Kevin-Marcus dan bagaimana mereka di dalam pertandingan, bisa melihat dulu final All England 2018 atau kompilasi skill bermain mereka untuk mendapatkan gambaran gaya bermain mereka melalui link di bawah ini.

Final All England 2018 – Kev/Mar & Con/Kol

The Art of Badminton Defending

#KevinMarcus #Asiangames2018 #Badminton #Indonesia #Doubleplayers

 

Payment’s Pattern

When he heard this, Jesus said, “This sickness will not end in death. No, it is for God’s glory so that God’s Son may be glorified through it.” – John 11:4

So then, he told them plainly, “Lazarus is dead, and for your sake I am glad I was not there, so that you may believe. But let us go to him.” – John 11:14

Jesus wept. – John 11:35

This is a story that people faced one of the greatest miracles that Jesus made, reviving Lazarus from the death. While the result is talking about breakthrough and healing, today I found another perspective to recognise what lies behind those powerful force. This is not talking how Jesus made a revival. This not about what should we do in order Jesus gave as a breakthrough. But yes, this is about Jesus Himself.

At that time He is a human. Although He is a God, remember that He is a human at the moment he knew Lazarus is sick.

Although maybe Jesus had clairvoyance about Lazarus at the time (because He’s still God after all, He knows everything), Jesus was still a human with hearts and feelings. Imagine if we are in Jesus’ shoes. Imagine how you feel and think when someone tell you that one of your precious people in your life is sick. Imagine what will you do after you hear those shocking news.

And imagine how Jesus endured Himself for something that is not for His own.

He said in verse 14: “for your sake”. It means He endured His departure for other people sake around Him. He knew His priority more than what He felt or thought at the time. And of course, those emotions are not something He easily bypassed, forgot or avoided. That’s why, perhaps, in verse 35 said, He wept. In the original version, it said that Jesus was wailing.

This is make me concluded that Jesus is selfless, but He never bypass His feelings. He processed them.

And enduring the hurt for losing His precious people is a great payment. Yet, He showed how to face it in a right way. Jesus told us in the earlier verses that there is a greater purpose, a promise for everything that God allowed to happen. As He said that it is for God’s glory, it means that God is in control of everything on it. However, it doesn’t dissipate the pain He should endure. Perhaps, that’s why He is weeping. He showed that there is invisible payment that sometimes comes pass by when bitter things happened. He wept, grieving and wailing, to process His emotions. He didn’t manage His emotion, but He processed them in order to move forward. This is why, He didn’t weep forever. He faced up the bitterness of loss after He grieves, because He knew that in the end, the great payment He made was to give His people deliverance.

“…for your sake I am glad I was not there, so that you may believe…” verse 11

We maybe couldn’t know how God does things precisely, but we can learn His habit and His pattern from His principles on doing things. He never does things without any reason. If He allowed things to happen, we can accept it because there is a purpose. And God’s purpose is always the best for us. This is why we don’t have to understand everything He does, but we can face Him for everything we’ve got. Because God, who made breakthrough in Peter’s life by suddenly coming to his boat and gave him blessing, is the same God who stopped Himself to come saving Lazarus and letting him to die. Both ended up with a revival, a new life He has prepared for them. He is God who is in control of everything. He is God who loves you and makes sure that whatever happened, He makes all things for the good and beautiful at His time.

This is why we can bravely say, “Our misery will be our greatest ministry.”

So, there is a payment in life occasions. The payment bills can come suddenly, shocking and painful. But there’s still hope in those payments if we know the pattern. Make our pains and hurt as a great payment for our ministry investment. So we may be glad in any situation. In that way, we don’t have to compromise our faith condition to be like our situation. We may and deserve to have joy even in the midst of darkest darkness.

Our God is that good. He’s not only showing us how to pay our price well, but He already did it for us on the first time by paying us with His blood on the Cross. That way we can live well, we can praise Him well, we can rejoice Him well, we can trust well, we can love well. Things or situations might not change, but let just be faithful in what we have. Let us be glad in Him. For the God who defends and taking care of us is faithful. He is faithful.

God Works On-Time

Journal, 28 November 2017

“We wait God to show up, but God waits us to grow up.” – Steven Furtick

God works on-time.

Perhaps, that’s why God doesn’t being determined by how fast or slow we are. He works on-time. That’s why we need to practice on how being “on-time.”

The opposites character of being on-time is impatient (too fast) and ignorance (too slow).

I’m a fast person, so it is so difficult to take a slow down in my perfectionist space. Yet, perhaps the opposites ring true as well. It is painful for the slow person to be fast. We tend to determine a process from the result. If the result is bad, the process means bad too. However for us, the result is obvious, because God had promised us and win the war for us. That’s why we should see that our gradual process is on-time to bring us to His promises.

That’s why I thought we could have hope in Peter’s response when Jesus came to his boat. It is indeed that God can use other people and did His miracle and plans even when Peter reject Him. Yet, I believe He came on-time. He came to Peter’s boat, knowing fully of his conditions and what he will respond. God never rejects the people who faced Him onward even in the midst of greatest bitterness.

Or even to the one who runs away. Jonah is the evidence. So I thought that God works on-time, in His own way and purposes. That’s why whatever He said will never fail.

There are still consequences of disobedience. However if we faced if forward (repent), God’s grace more than enough.

So I thought, there is hope for people who are in pain, bitterness and insecurity. “The greater the assignments, the greater the adversity, the greater is the assistance from God.” – Steven Furtick. This is why perhaps God gives me a reminder to rejoice and praise God even in my bitterness. Not because we need to have a reason, but we already have a reason to praise Him even now.

We might not know about tomorrow, but we have today. That is a Grace, whatever the condition we are today. It is already a reason why we may praise God.

Although that “may” is not an obligation, yet one thing is sure. God is still faithful.

This brings me to redefine what is means to live “in the between.” It is not talking about being neutral. Being neutral means nor hot or cold, it is a sign of ignorance. But living “in a between” means you live in one extreme to reach the other extreme. That’s what we called as relevant. That’s what we called as being salt and light. Raising life in the darkest hours.

That’s why we need a “bridge” to get there.

We cannot do it by ourselves. We cannot go that far. Our strength are limited and our souls are way too fragile to do such things. It is not possible to love people to that extend without being egoistic. It is not possible to have a selfless love by ourselves.

So the answer I got on “how to love someone in a right way / God’s way” is by asking Him every time, “What do You think about him/her?”

God works on-time, so I honoured this gradual growth for me to learn until I’m ready on some point. Maybe I feel I’m not going anywhere, but what I can do is to prepare. Because the only I can understand His on-timing is by preparing as best as I could.

He might be not answering all of my questions, but I guess that’s the part on learning and preparing. Learning not to be impatient or being ignorance. He rarely do things all at once. Especially He never does that when fixing our attitude and character. He doesn’t want us to be startled, so it needs to be gradual.

Be grateful. Keep on praying. Be faithful with who you are and what you have now.

Keep connecting with God. Weaknesses are there to deliver us to His grace. Be grateful. Yes, keep praising Him as well.

And I’m grateful for this moment of time. In my weaknesses, in my struggle, in my pains, in my insecurities, in uncertainties, God works on-time, even now.

So, I’m grateful for still remembering people I want to forget, so I may learn deeper about what God wants me to learn from those relationships. I’m grateful to understand now that God didn’t make me move on fast from my problems because He doesn’t want me to be conceited. He makes me being dependent on Him. My weaknesses and problems protects me by making me depend on God more. My problems and pains made my attention back to him even more intense than if I have what I want in my life. Perhaps, the costs worth the price. Thank you, Jesus. Thank you so I may know Your love more and know how to love in a right way.

No one is mine ever since the first time. So no one need to be what I want them to be. That’s why  I need to learn how to love them in God’s way, The One who owns them all. Thank you, Jesus, to remind me all that and loves me as I am now. Amin.

Bicara Visi, Bicara Hati

Beberapa bulan terakhir ini saya sering sekali membuat post-post quote di IG. Isinya bukan foto pemandangan yang indah atau selfie muka saya yang cantik (maafkan kenarsisan saya), tapi quote insight yang saya dapatkan tentang kehidupan, saya dan Tuhan.

Saya mulai dengan post yang “Let’s Get Back to the Basics”.

Tentu selain saya kegandrungan pada atasan saya, yang merupakan seorang pembina rohani yang menginspirasi dan bersahaja, saya juga ngefans dengan versi bulenya di Amerika yang bernama Steven Furtick. Orang satu ini memang selalu menggugah saya dengan khotbah-khotbahnya yang halus tajam serta membumi. Dan suatu kali dia mengatakan sesuatu yang menjadi awal dari perjalanan quotes saya di Instagram.

“How in the world can God use us to kill Giants if we can’t even follow Simple Instruction?” – Steven Furtick

Dan selain saya suka sekali dengan dua orang di atas, Ibu rohani saya yang selalu menerima saya apa adanya namun terlalu sayang bila saya terus menjadi keadaan yang sekarang, memberikan salah satu quote yang tidak akan saya lupakan (namun belum sempat saya post), yaitu:

“Kamu beruntung masih single karena kamu tidak perlu mengkompromikan visimu pada pasanganmu.” – Tetty Ruth

Ada juga yang lainnya berkontribusi banyak di dalam setiap perjalanan saya menulis quotes-quotes di dalam Instagram. Tentu bukan hanya saya sekedar menjajaki dunia sosial media yang baru. Karena dari setiap perjalanan online biasanya terjadi perjalanan offline yang luar biasa. Hal-hal tersebut tentu menjadi pemicu yang mengaktifkan darah seni saya. Dari bicara tentang 8 sesi basic: Re-learn Love, Forgiveness, Faith, Total Surrender, Hope, Share, Submit to Authority, Humble & Resilient, sampai akumulasi dari pikiran yang terisolasi: Breath, Eat, Sleep, Talk, Walk, Touch, Write, diakhiri dengan beberapa nostalgia quotes lama dan berakhir dengan ketaatan (Obedience).

Oh, maaf, saya lupa. Memang ada quotes yang mengawali semua perjalanan ini sebelum “Back to Basic”, yaitu:

“Jesus, tell me what I should do and I’ll obey.” – 3 Maret 2017

Akhirnya siklus ini kembali ke awal. From Obedience to Obedience. Dari ketaatan sampai ketaatan. Dari kesetiaan sampai kesetiaan. Diawali oleh Tuhan dan diakhiri oleh Tuhan. Suatu saat tentu saya akan kembali lagi belajar mengenai apa yang saya telah tuliskan dalam bentuk dan level yang berbeda. Karena keberjalanan hidup seringkali adalah masalah pola, bukan potensi.

Sehingga bicara tentang visi adalah bicara tentang hati.

Dulu saya sangat menggilai visi sebagai kebanggaan dalam hidup dan mencapainya adalah target kesempurnaan. Namun proses pendewasaan memang mengerem daya pacu hidup saya yang masih muda ini untuk berpikir ulang. Visi hanyalah tools, sarana untuk sesuatu yang lebih dalam terhadap apa yang Tuhan kehendaki, yaitu relasi bersama-Nya.

“Sometimes when you found the visions of your life, God lets the thick clouds to fall, so you may walk by faith and not by sight.” – 10 Agustus 2017

Sehingga saat sesuatu terjadi, bukan masalah goncang atau tidak goncang. Bumi saja menangis saat ia terluka. Jadi kesedihan dan kesenangan bukanlah patokan. Namun bagaimana memaknai hidup yang sesungguhnya menjadi acuan. Terutama sikap hati terhadap siapa Tuhan di dalam hidup kita, dibandingkan apa yang Dia dapat lakukan. Bila Dia yang memulai, maka Dia yang akan menyelesaikan.

Inilah kesimpulan yang sama seperti quote yang atasan saya sering katakan, yaitu:

“Hidup ini cuma sekali, bukan dua kali atau berkali-kali. Oleh karena itu jadikanlah hidup yang sekali ini menjadi hidup yang penuh makna yang tidak akan pernah kita sesali.” – Bambang Widjaja

Mungkin perjalanan ini bertemu dengan checkpoint untuk beristirahat sejenak. Namun saya belajar bahwa ini bukan akhir dari segalanya. Perlu untuk terus berbenah diri dan memahami bagaimana Tuhan bekerja, karena sebenarnya segala hal yang terjadi hanyalah tentang kita dan Dia. Dan segala kata serta kalimat yang tertulis mungkin tak cukup untuk menampung semua, namun saya yakin akhirnya Tuhan tetap memegang kendali atas hidup saya.

a

Quote 23 September 2017

Tuhan Tidak Menciptakan Kita Untuk Hitung-hitungan

Dimulai dari seorang anak bernama Yadian yang bertanya kepada Jokowi tentang pertanyaan tentang Naruto dan Hokage yang jadi ramai di medsos. Saat Yadian membantu Jokowi yang kebingungan dengan pertanyaannya, dia menjelaskan tentang apa itu Naruto dan Hokage. Anak bernama Yadian ini menjelaskan bahwa Uzumaki Naruto sebagai Hokage yang ketujuh memiliki kepemimpinan yang damai, alim dan disiplin. Dan kebetulan Jokowi merupakan presiden ketujuh dari negara Indonesia. Sehingga Yadian bertanya apakah Jokowi mampu menjadikan negara kita seperti Konoha dalam kepemimpinan Uzumaki Naruto?

Pertanyaan sederhana dan awalnya konyol ini menyentuh saya. Di tengah situasi yang panas, kritis, dan sensitif, ternyata muncul seorang anak kecil yang sederhana memberikan pengharapan baru untuk Indonesia di masa mendatang.

Eh, itu kalau sesuatu tidak terjadi untuk mengubah pikirannya. Itu kalau nuraninya tetap ada saat dia beranjak dewasa. Itu kalau…

Mengamati pemikiran saya sendiri mengenai hal ini membuat saya berpikir lebih dalam. Ternyata tidak semuanya bisa diperhitungkan secara seksama. Ada saja faktor ketidakpastian dari setiap perkiraan yang manusia buat. Di titik ini saya mendapatkan kesimpulan bahwa,

God created math, but not calculating people.

Memperhitungkan (to calculate, verb) sifatnya netral dalam kamus bahasa Inggris, tapi menjadi orang yang hitung-hitungan (Calculative, adjective) memiliki arti yang negatif. To calculate dalam kamus bahasa Inggris artinya to determine (the amount or number of something) mathematically, to determine by reasoning, experience, or common sense; reckon or judge, atau intend (an action) to have a particular effect. Sedangkan calculating dalam kamus Inggris adalah acting in a scheming and ruthlessly determined way. Jadi Tuhan menciptakan matematika dan kalkulasi menjadi sebuah alat bantu yang memudahkan manusia untuk mengerti prinsip-prinsip penting dan berkomunikasi dengan sesamanya, bukan sebagai alasan untuk menjadi licik (scheming) dan tanpa ampun (ruthlessly). Prinsip dan komunikasi ini ada tempatnya, ada waktunya, ada cakupannya, ada tujuannya. Dan saat tempat, cakupan, waktu dan tujuan tersebut melenceng maka terjadilah kalkulasi yang tidak tepat atau “menjadi terlalu hitung-hitungan”.

“For in him all things were created: things in heaven and on earth, visible and invisible, whether thrones or powers or rulers or authorities; all things have been created through him and for him.” (Colossians 1:16, NIV)

Ketidaksadaran akan bagaimana Tuhan menciptakan segala sesuatu seringkali membuat orang melenceng dari jalur yang sebenarnya. Contohnya, tidak heran kalau banyak orang mengecap saintis sebagai makhluk ateis karena perhitungannya yang sering kali tidak tepat pada sasaran. Tujuan dari segala hal yang diciptakan seharusnya adalah untuk pencipta-Nya, tidak peduli kondisi, situasi ataupun kepentingan, baik itu kepentingan untuk khalayak ramai atau kepentingan pribadi yang sangat personal seperti mengenai keselamatan sesudah kematian sekalipun. Saat kita berusaha untuk membuktikan bahwa Tuhan bisa diatur-atur oleh perhitungan kita, di saat yang sama kita sedang menggali lubang kekecewaan kita sendiri. Mana ada suatu ciptaan yang dapat mengatur-atur pencipta-Nya tentang apa yang harus Dia lakukan kepada ciptaan-Nya tersebut? Kalau pot tukang periuk memaksa untuk mengatur-atur pembuatnya, mungkin si tukang periuk lebih memilih untuk memecahkannya dan membuat kembali pot yang baru. Karena sejak awal, dia membuat pot periuk bukan untuk mengatur-atur dirinya, tapi untuk tujuan yang lebih mulia.

Calculating with God is that risky. Tuhan tidak bisa diatur dengan angka-angka probabilitas atau bahkan ancaman sebab-akibat yang kita keluarkan. Selalu ada rencana yang lebih dari plan Z. Selalu ada faktor celah yang tidak pernah kita pertimbangkan sebelumnya. Our God is unlimited God. Mengapa kita harus mengkotakkan diri-Nya di dalam otak yang sebesar bakpau ini?

Jadi bagaimana kita seharusnya bersikap? Apakah pembelajaran matematika dan konsekuensinya sejak bayi hingga kita menjadi besar saat ini adalah salah? Tentu tidak. Karena di dalam Kolose 1:17 (NIV) dikatakan bahwa “…in him all things hold together.” Artinya tidak ada hal sia-sia yang Ia ciptakan. Semuanya tersinergi dan terharmonisasi dalam satu kesatuan di dalam Dia. Di dalam konteks ini, matematika adalah salah satunya. Belajar berhitung tidak salahnya bila hal itu untuk membantu visi dari Tuhan dan komunikasi antar sesama kita. Yang menjadi masalah adalah bila kita sudah mengandalkan perhitungan kita lebih dari kita mengandalkan Tuhan.

Dan kembali pada cerita di awal, saya gagal dalam memperhitungkan isi hati Yadian mengenai masa depannya. Hati manusia tidak bisa diukur atau diestimasi. Iman dan pengharapan saya juga salah satunya. Apalagi kasih Tuhan untuk masa depannya, masa depan saya dan masa depan kita semua.

Indonesia ada di tangan anak-anak bangsanya. Itu benar. Oleh karena itu kita harus belajar untuk menghitung dengan seksama bagaimana cara untuk menghasilkan kontribusi yang terbaik sebagai salah satu dari anak-anak pilihan bangsa. Ini juga benar. Tapi ingat bahwa Tuhanlah yang memegang kendali atas seluruh dunia ini. Di dalam Dia tidak ada satu pun yang diperbolehkan terjadi tanpa seijin-Nya. Apa yang harus kita lakukan dalam menghadapi keputusan Tuhan di dalam segala hal yang terjadi saat ini maupun di masa yang mendatang?

Jawabannya adalah dua hal yang lagi-lagi tidak bisa dihitung dengan angka. Ketaatan dan kesetiaan. Mulai sekarang saya perlu belajar merendahkan hati untuk menjadi taat dan setia sampai waktu saya dipanggil kembali untuk pulang ke “rumah”.

Jangan Manja

Saya paling senang dan juga sekaligus sedih kalau mentor saya berkata seperti ini, “Jangan manja!”

“Jangan” artinya kata yang menyatakan melarang, berarti tidak boleh; hendaknya tidak usah (http://kbbi.web.id/jangan)

“Manja” artinya kurang baik adat kelakuannya karena selalu diberi hati, tidak pernah ditegur (dimarahi), dituruti semua kehendaknya, dan sebagainya.(http://kbbi.web.id/manja no.1)

Biasanya kata-kata ini paling sering keluar pas keluhan di mulut ini mulai berkoar-koar.

Yakni saat situasi tak nyaman, tak aman, atau penuh kesuraman.

Contoh: Dari pulang ngga ada yang anterin sampai minta maaf walau tak salah sekalipun.

Dulu belum ada istilah “yang waras ngalah”. Waras ngga waras, kalau relasi dan otoritas masih dianggap penting, minta maaf itu kunci utama.

Dan juga soal berdiri di kondisi yang berbeda dengan yang lainnya.

Dulu juga ngga ada istilah “minoritas lawan mayoritas”. Adanya istilah “aku dan kamu emang beda, tapi sama-sama makan nasi dan nangis kalau ngerjain UTS kalkulus.”

Tapi setidaknya ikut mata kuliah PPKN dengan kelas berbagai ragam latar belakang dan budaya, lebih nikmat dibandingkan perdebatan forum silahturahmi (forsil) antar genk yang penuh kepentingan dan kadang perlu dipertanyakan maksudnya apa.

Memang seperti yang saya pikirkan 7 tahun yang lalu. Pendidikan politik yang benar itu harus dimulai semenjak dini.

Minimal definisinya di KBBI.

“Politik” artinya cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah); kebijaksanaan. (http://kbbi.web.id/politik no.3)

Bijaksana katanya. Politik itu bijaksana. Harusnya…

Yah, apalah awak ini hanya orang awam biasa-biasa saja. Mungkin kalau politik itu kejauhan, saya belajar tentang budi pekerti saja.

Phatos, Ethos, Logos, kalau kata Aristoteles. Eh, tapi bukan artinya dibuat untuk ngeles.

Kebenaran itu adalah kebenaran. Kalau dikamuflase jadi ngga benar, hati-hati. “Dengan kekuatan bintang aku akan menghukummu,” itu katanya Sailormoon…

Jadi kembali ke topik.

Intinya mari kita buka mata lebar-lebar, buka hati lebar-lebar, tapi ngga usah buka mulut lebar-lebar takutnya laler masuk.

Apa yang masuk disaring dan apa yang keluar juga disaring. Utamakan budaya check & re-check, seperti mengupas paper dengan refensinya (alumni ITB dihimbau jangan baper baca ini. Makan bakpau aja).

Dan menanggapi sebuah kata yang sedang nge-trend saat-saat ini (Cieee… Kata gotong royong bukan? *pura-pura ngga update) mungkin bisa disandingkan dengan kata-kata ini. “Try to put yourself in other shoes“, kata peribahasa sok keren mah.

Yang mungkin artinya sekali-kali perlu coba untuk buka social media pakai jempol kaki dibandingkan pakai jempol tangan. Merasakan desiran tantangan kesabaran atau malah mungkin mendapat pencerahan sebelum klik “share“, “comment” atau “like and dislike.”

Karena kalau mau lebih spesifik lagi, iman itu ngga akan naik level hanya dengan tambahan jempol. Mank main game Mario Bros dengan koin-koinnya?

Dan bicara pada kaum sesama, hanya ingin menghibur bahwa mungkin kejadian yang ada adalah sebuah pertanyaan apakah iman ada karena simbol atau simbol ada karena iman?

Asanya ngenes juga sih yah kalau iman ada karena simbol. Udah gitu bukan simbol yang bener-bener dari Aslinya lagi. Duh…

Saya pusing terpusingkan oleh mereka yang memusingkannya padahal itu sesuatu yang seharusnya tidak usah dipusingkan. Nah, tanya kenapa?

Yang lebih mahal itu simbolnya atau yang disembah, saudara-saudara? Okelah kita harus bantu saudara-saudara kita yang masih mencari arah dan memiliki simbol juga ngga jadi masalah. Tapi kalau sampai karena simbol jadi pecah perang dan piring, silakan pikir sendiri-sendiri yah.

Mungkin saya salah. Tapi lebih dari pada itu mungkin kita harus belajar bersyukur untuk semuanya. Belajar bersikap lebih damai dan tentram. Belajar melihat apa yang ada di dalam, bahwa,

Sebegitu mahalnya Jaminan Keselamatan hari-hari ini hingga semua orang memakai segala macam cara untuk mendapatkannya.

“Keselamatan” artinya perihal (keadaan dan sebagainya) selamat; kesejahteraan; kebahagiaan dan sebagainya. (http://kbbi.web.id/selamat)

Ngga heran kalau sampai saat ini Asuransi masih laku jasa unit link-nya di Indonesia. Paket lengkap special pakai telor, Mas.

Dan kalau ngga bayar untuk bisa mendapatkannya rasanya kaya kurang yakin gimana gitu. Perasaan yang bukan realita dijadikan realita karena saking real-nya.

Makanya mentor saya menambahkan satu kalimat lagi, “Jangan bodoh!”

“Bodoh” artinya 1. tidak lekas mengerti; tidak mudah tahu atau tidak dapat (mengerjakan dan sebagainya), 2. tidak memiliki pengetahuan (pendidikan, pengalaman), 3. terserah (kepadamu). (http://kbbi.web.id/bodoh)

Ini mungkin alasan kenapa ayah saya, kakak saya dan bahkan saya tidak suka kalau orang ditanya, “Makan apa?” dan dia jawab, “terserah.” Masalahnya ngga ada nama makan ‘Terserah’ di menu, Bro, Sist. Adanya nama makanan yang mau dimakan.

Kenal makanannya, bukan sekedar tahu namanya. Itu yang membuat orang mau balik lagi buat makan makanan itu, dengan jenis yang sama dan di tempat yang sama.

Kalau warung warteg aja bisa filosofis kaya gitu dari makanan yang disediakan, harusnya organisasi yang lebih besar lebih keren lagi donk filsuf-filsufnya. Ya ndak?

Dan untuk sesama bernaung dalam satu tulisan KTP yang sama, saya mau ajak momen-momen yang dibilang “ngga adil” ini untuk berpikir ulang.

Tuhan datang bukan di hotel ballroom bintang 5 dengan kasur double King Size. Dia datang di dalam kotak kayu yang dibersihin sebisanya karena darurat, itu aja minjem sama domba-domba sekitar.

Dia ngga ada sempetin pasang pohon yang segede gaban pakai lampu kelap-kelip. Tahu lilin darurat yang sering dipakai kalau mati lampu khan? Mungkin itu yang hanya ada saat Dia datang ke dunia kayanya.

Bajunya juga terbatas. Dan harusnya ini jadi trend kalau memang simbol itu penting. Yaitu simbol kain lampin alias kain perca. Pertanyaannya ada yang mau pakai baju dari kain perca di jalanan?

Tapi yang pasti Tuhan datang ngga pakai topi santa. Kalau didatangi onta-onta mungkin iya.

Sekali lagi bukan berarti ngga boleh ngerayain. Tapi kalau merayakan pesta buat tuan rumahnya tapi fokusnya sama makan-makan, dekorasi, tempat yang dipakai, itu gimana toh? Sedikit disenggol udah siap ba to the cok alias encok… ehhh…

Inilah yang jadi esensi kita seharusnya rekan sejawat. Tuhan kita itu beda.

“Beda” artinya sesuatu yang menjadikan berlainan (tidak sama) antara benda yang satu dan benda yang lain; ketidaksamaan. (http://kbbi.web.id/beda)

Kasih-Nya beda, Kekuatan-Nya beda, Damai-Nya beda. Kasih yang kalaupun disakiti mengembalikannya dengan pelukan penuh kehangatan. Kekuatan yang walaupun di dalam kondisi tertekan dan tidak ada harapan sekalipun masih bisa bersyukur dengan apa yang ada. Damai yang tetap menyejukkan walau berdiri sendirian di tengah derasnya arus ketegangan yang ada.

Jika kita seharusnya semakin serupa dengan Dia, mengapa kita jadi semakin mengikuti dengan dunia?

Ingat, menjadi relevan dan tergerus trend itu beda. Hidup bukan hanya sekedar untuk survive, tapi untuk benar-benar menjadi dampak.

Makanya, jangan manja! Be Resilient!

Resilient : Able to withstand or recover quickly from difficult conditions, able to recoil or spring back into shape after bending, stretching, or being compressed.

Elastis / Tabah: Dapat bertahan atau pulih dengan cepat dalam kondisi yang sulit, dapat melompat atau meloncat kembali kepada bentuk semula setelah dibengkokkan, ditarik atau diberi tekanan.

Punyailah mental yang mahalan dikit kaya berlian gitu, jangan kaya panci stainless steel yang mudah penyok.

Apalagi mental tempe mendoan atau tahu bulat yang goreng dadakan.

Sumbu yang pendek itu nyala apinya cepat padam. So, jangan jadi kembang api dan semacamnya yang menghilangkan ketentraman masyarakat akan bahaya kebakaran yang mengancam jiwa.

Media sosial salah satu kampungnya, di mana kepala sukunya bernama “Suka-suka.”

Nah kaya gini nih contohnya. Sebuah post penuh dengan absurdity yang tidak perlu dipertanyakan lagi.

Jadi daripada buat otak spaneng, mata muter-muter, hati jumpalitan ngga keruan, anggap saja tulisan ini sebagai angin yang memberikan kesegaran di tengah kesumpekan situasi yang ada seperti semprotan pengharum ruangan.

Tapi ingat, jangan manja. Kecuali sama orang-orang terdekat yang sah dan legal secara hukum untuk minta dimanjain. Oleh karena itu buanglah manja pada tempatnya.

Dan bersukacitalah senantiasa. Tetaplah berdoa. Mengucap syukurlah dalam segala hal. Dan hey! Kuatkanlah hatimu. AKU telah mengalahkan dunia… (1Tesalonika 5:16-18, Yohanes 16:33)

Sekian dan terima kasih.

My “Daddy”

giphy.gif

source:  http://giphy.com/gifs/U8KeJxZqrnVni. For longer version you can see it on this link: Dad opens her daughter stuck jam jar

This video struck the cord of my heart when I watched it. Clearly it reminds me about my lovely reliable father who always opened my bottle of water whenever I needed it, but it also made me thought deeper about who God is. The God I believe is the One that I always called as “Daddy”, a prestige and closeness for who He is and how He made me who I am. And as His daughter, I realized several points in my life that somehow just the same stuck with that jam of jar.

When our life is stuck, please remember this few things:

1. Try to do your best!

Some people thought that God is so good on manage everything for them so they just cross their legs and enjoy their day sipping a lemon tea over the summer. That’s why most of these people ended up crying and disappointed for why God didn’t defend them when the situation got worse. They started to question and doubt if God is capable enough to give the best for them.

This world said that if God is really are capable to do everything, then let’s just don’t do anything. However, God reminds us with Paul’s letter to Thessalonians people: “The one who is unwilling to work shall not eat.” (2Thessalonians 3:10)

Hello! God command us to work, not to be lazying around. Pray has its part, but foremost do your best first! Just like the young lady above. She didn’t lose her focus on what’s she should do ahead. She faced her challenge and tried with many kinds of things she had at hands to open the jar.

What is the meaning of “Do your best”? Lots of people could interpret it. But I think this verse describe this principle well.

Colossians 3:23-24

23 Whatever you do, work at it with all your heart, as working for the Lord, not for human masters, 24 since you know that you will receive an inheritance from the Lord as a reward. It is the Lord Christ you are serving.”

So, not only our time, our power, our skills or our mind on doing this right, but also our motivation and purpose should be in the right point. Just do your best with all your heart, soul and might. And after we do this foremost rule, we could step to the next.

2. “Daddy” can do everything and is willing to help you

Masterchef is a strict competition against time. One wrong move will sacrifice a lot of things for the participants to prepare their best dish. Options are also limited. Sometimes they should use whatever ingredients on their hands without asking more. So in this case, it should be not easy to the participant to give their precious jar to other people when their dessert cries for the ticking time. That part will be such a gambling move as there is a probability that the other person who help might be persistent enough to open the jar and drain the participant’s time more.

But, she did. Because she knew that person was her father, who strong enough to open that stuck jar.

So from this part, I learnt that knowing God is capable to do everything should be the basis of our confidence. Our God is Almighty. He rules over the heaven and the universe. So why should we doubt His power?

Oh, I get it. Perhaps, we sometimes doubt if He is willing to help us or not.

People usually interpret that good things happen for them is a sign of God’s love. But if something happened in the opposite, they thought God is angry with them. However, is that true? Guess some of you already heard enough lecture about this stuff, but I just want to show you another perspective that I got directly from this video. If you looked at the struggling girl who tried to do her best, at one point her father said, “Bring it to be opened here!” It was not just a sign of his willingness, but also a motivation command. That point was so clear. But I really want to remind you that they were in a Masterchef competition. Not many people are confident enough to shout out loud to their family members that they would help. And what her father did was not just showing how brave he was toward the mainstream reactions, but also noticing a point.

Her father knew that opening her jar won’t disqualify her daughter in this competition. Or even if he didn’t know, he knew that opening that jar didn’t mean he intervened his daughter on making her best dish. What he was not trying to blame the committee about giving her daughter a crystallize jar or asking for a handicap on her daughter situation. The only thing he does was saying “Bring the jar to me” and give her a chance to resume her fight until the end.

Upon God’s mighty hand, the world is talking about result of what He is doing, but God is talking about the growth for the people He gives a hand. He is always willing to help us according on His best plan He had made for us.

3. Give that “Burdening Jar” up to Him!

Last, but not the least. Give that jar up! Most people knew that their God is mighty and full of lovingkindness, but they never feel it on their life because they didn’t want to give their burden to Him. Some hold it because of pride, some hold it because they thought that principle only occurs for other people and not for them, some hold it because they didn’t want to take a risk. However, the most risky thing that they do was wasting their time to struggle on their stuck way while their power didn’t enough to clear their way through. Then they will hovering around and try to find other people or things to help them easing their burden. Is that giving any help? Well, they can say “yes”, but faking it won’t change anything.

This world will always burdening us with its weight on our shoulder, while as for God, His yoke for us is light.

Matthew 11:28-30

“28 ‘Come to me, all you who are weary and burdened, and I will give you rest. 29 Take my yoke upon you and learn from me, for I am gentle and humble in heart, and you will find rest for your souls. 30 For my yoke is easy and my burden is light.'”

So, share that jar up to Him! Knowing that her father is strong and bulky enough to open the jar will not enough to make her witness how that jar opened. Come and give our burden to Him, so we shall have our peace.

This three points are like a cycle to me, a principle that strong enough to humble my heart upon God’s power and God’s grace. But most of it, I clearly realize how deep my “Daddy” loves me when I watched how her father opened that jar for her in one strike while the other people could only give advice and witness.

And you know, that girl wins the game.

masterchef-winner

source: http://twentytwowords.com/masterchef-competitor-cant-open-a-jar-shes-about-to-lose-but-dad-is-in-the-crowd/

I’m grateful that I also have a reliable daddy in my life like her and now a greatest “Daddy” ever in the entire history to live in my heart and taught me this message to be shared to you all. Hope this sharing blessed you. Have a nice day ^^.

Dedicated for my lovely daddy too, Bambang Pontoh. I love you so much ^^

In the between

Those people there say “I’m right”. These people here are holding their stance for their righteousness.

I’m standing, in the between, to communicate what’s should be right in our conscience right now.

Those people there are throwing hot stones. These people here are countering with cold blocks.

I’m also there, in the between, to shield them from each other attacks and end it with a warm handshake.

Those people there shouts curses. These people here sneers and jeers.

I hear them, in the between, while converse politely of what we should do to make a better world.

I’m there, not to tell them what’s right or what’s need to be done. I’m there as a mediator. I wish I am. As the arbitrator of peace. I wish.

To give a breeze of hopeful era. To give a blessing for the next generations about living in a peaceful united nation. For this lovely country, for its “United in Diversity” I pray.

Calling for Peacemakers

These recent days, the “microphone” is an expensive one that being fought by people. They thought that if they got the “microphone” they could actualize themselves better on stage, showed their “righteousness” and gave a solution for a better life.

But self actualization doesn’t ensure a great world. Fulfilling our “calling” is the answer for these thirst souls.

Needs discerning eyes to see which one is walking in his “calling” or not. Talking something right or living in a right way at other people eyes are different things with fulfilling our “calling” right. Needs humility to evaluate ourselves each day by day regarding the journey of our “calling”. Needs a heart that always depends on God to see how that “calling” got finished well.

And a “calling” that fulfilled always give joy and peace.

What is our “microphone” today? Why are we standing for and hold that now? Is it to satisfy our flesh for telling what’s right or to give the message of peace? Peace never compromise with injustice and unrighteous, but its deliverance always make difference in the midst of chaos. Have strength and take heart, Peacemakers. Our “calling” awaits us, for our peace overwhelm the world.

Submit to Authority

Submit to authority takes heart. It takes humility, challenging all feelings to keep fighting against the pride within. But to have such kind of heart, we need to change our mind. We need to be creative at finding every perspectives to support and obey our Leader.

So, the decision to follow is with us, never on other else. It is a fact that we could never change people nor people could change us. The thing that could change is always about who we permit to seat on our “throne”. The problem is who sit upon it now? Remember that the heart can never lie. It will just show its true face whether we declare it or not.

Always choose to submit and be creative at how to walk in the Truth with our Leader. Last but not least, try to love our leader. Because Love always wins.

#Lessonfortoday #Selftalk #Thankyoumyleaders